Dua Pasang Hati
A
A
A
Lara pun menyelinap di balik lorong rumah sakit, tak jauh dari lobby rumah sakit. Ia melongokkan kepalanya dari balik pilar lorong tersebut, dan baik-baik mendengarkan pembicaraan mereka.
”Di, gue nggak nyangka lo berbuat gitu sama tunangan lo sendiri,” suara berat milik Keenan memulai arah pembicaraan. Sementara Ardio bungkam, tak menanggapi. Tangan kanannya menyentuh dahinya yang terasa lebam karena ditonjok Keenan. ”Sebenernya belakangan ini, gue sering ngeliat lo berusaha deketin Lara. Cuma gue nggak mau aja bahas ini depan Lara.”
Pernyataan jujur Keenan mengejutkan hati Lara, sejak kapan dia tahu? Kok dia nggak pernah bilang? Ardio membalas Keenan dengan senyum sinis, yang sangat jarang keluar dari seorang Ardio. ”Sejak kapan lo peduli sama Lara? Bukannya lo selalu nyakitin dia?” tuding cowok itu dengan tatapan memburu. ”Nyakitin?” Dahinya mengernyit keheranan, membuat Keenan tersenyum simpul pada Ardio.
”Keenan, gue itu nggak buta, ya. Gue sering banget lihat Lara nangis karena lo. Bahkan dari sembilan tahun yang lalu pun, gue udah tahu,” Ardio menudingnya tajam. Mata cowok itu melirik Keenan dingin. Benak Lara kini semakin nggak karuan, gue kan cuma cerita ke Echa...? Kok dia bisa tahu? ”Sembilan tahun lalu? Maksud lo apa?” Nada bicara Keenan mulai meninggi.
”Lo cowok yang dijodohin Tante Melia buat Lara, kan? Anaknya Om Bara?” Mata Keenan terbelalak saat mendengar pertanyaan Ardio. Siapa dia? Kenapa dia tahu semua background cerita masa lalu gue dan Lara? Bertahun-tahun dia mengenal Ardio, belum pernah cowok itu berubah seperti serigala hampir menerkamnya seperti saat ini.
Ardio tersenyum sinis kepada Keenan lagi. ”Lo tahu semua dari Echa?” tanya cowok itu sedikit gelagapan. Anehnya, cowok itu menggeleng, membuat Lara juga tak bisa lagi bernapas dengan normal, siapa Ardio sebenarnya? Keenan bangkit berdiri dari bangku lobby rumah sakit, lalu menatap Ardio tajam, ”Gue nggak peduli siapa lo sebenernya. Jangan pernah mainin perasaan tunangan lo sendiri, karena perempuan lain!” gertaknya kemudian.
Lara hanya bisa terdiam melihat keduanya saling bertengkar. Dia menundukkan kepalanya di balik pilar, kenapa semuanya jadi kayak gini cuma karena gue? Astaga Echa.... Maafin gue. Air mata Lara mulai mengalir. Sementara Keenan merasa sangat kecewa dengan Ardio, sahabatnya sendiri. Ia memang baru sadar, selama ini ada yang disembunyikan Ardio darinya.
Masa lalu Ardio, sebelum bertunangan dengan Echa tak pernah diketahui Keenan sebelumnya. Kalaupun, Ardio pernah dikenalnya di masa lalunya bersama Lara, kenapa dia tidak pernah memunculkan diri? Kenapa setelah bertahun-tahun, Ardio baru menguaknya? Ardio, sobat Keenan itu menahan langkah Keenan dari hadapannya, lalu cowok itu melayangkan tonjokannya pada Keenan sebagai balasannya.
Dada Lara semakin sesak melihat dua sekawan itu bertengkar hanya karena dirinya. Kalo begini caranya, Lara kehilangan keberanian untuk mengungkap siapa Ardio sebenernya pada Echa, tunangannya. Air mata di pelupuk Lara semakin mengalir deras, dia sudah tak lagi bisa menahannya. Lara memutuskan menyambangi dua pria itu di hadapan mereka.
”Ardio, Keenan! Berhenti!” teriaknya, di saat keduanya sudah semakin memanas. Lara berdiri di depan Keenan, di saat Ardio sudah bisa meredam emosinya. ”Di, siapa lo sebenernya?” tanya Lara tegas, matanya mendelik tajam pada Ardio. ”Lo inget, pas lo SMA dulu, ada satu cowok culun berkacamata yang selalu ngasih lo bunga diem-diem lewat Revan?” tanya Ardio dengan pandangan sorot mata menerawang.
Sementara, otak Lara berpikir keras tentang kenangan SMA-nya. Memang sih, jaman SMA dulu, ada teman kakaknya yang kalo nggak salah calon dokter juga yang sering mampir ke rumah Lara. Tapi Lara nggak tahu, kalo cowok nerdy yang selalu berpakaian kemeja itu, rupanya naksir pada Lara.
Dia pikir, dia ke rumah hanya untuk kumpulkumpul dengan Revan dan kawankawannya. Sementara.. sejak kehadiran si cowok culun itu, Lara sering banget nerima karangan white rose dari seseorang yang tak pernah diketahui identitasnya. (bersambung)
Vania M. Bernadette
”Di, gue nggak nyangka lo berbuat gitu sama tunangan lo sendiri,” suara berat milik Keenan memulai arah pembicaraan. Sementara Ardio bungkam, tak menanggapi. Tangan kanannya menyentuh dahinya yang terasa lebam karena ditonjok Keenan. ”Sebenernya belakangan ini, gue sering ngeliat lo berusaha deketin Lara. Cuma gue nggak mau aja bahas ini depan Lara.”
Pernyataan jujur Keenan mengejutkan hati Lara, sejak kapan dia tahu? Kok dia nggak pernah bilang? Ardio membalas Keenan dengan senyum sinis, yang sangat jarang keluar dari seorang Ardio. ”Sejak kapan lo peduli sama Lara? Bukannya lo selalu nyakitin dia?” tuding cowok itu dengan tatapan memburu. ”Nyakitin?” Dahinya mengernyit keheranan, membuat Keenan tersenyum simpul pada Ardio.
”Keenan, gue itu nggak buta, ya. Gue sering banget lihat Lara nangis karena lo. Bahkan dari sembilan tahun yang lalu pun, gue udah tahu,” Ardio menudingnya tajam. Mata cowok itu melirik Keenan dingin. Benak Lara kini semakin nggak karuan, gue kan cuma cerita ke Echa...? Kok dia bisa tahu? ”Sembilan tahun lalu? Maksud lo apa?” Nada bicara Keenan mulai meninggi.
”Lo cowok yang dijodohin Tante Melia buat Lara, kan? Anaknya Om Bara?” Mata Keenan terbelalak saat mendengar pertanyaan Ardio. Siapa dia? Kenapa dia tahu semua background cerita masa lalu gue dan Lara? Bertahun-tahun dia mengenal Ardio, belum pernah cowok itu berubah seperti serigala hampir menerkamnya seperti saat ini.
Ardio tersenyum sinis kepada Keenan lagi. ”Lo tahu semua dari Echa?” tanya cowok itu sedikit gelagapan. Anehnya, cowok itu menggeleng, membuat Lara juga tak bisa lagi bernapas dengan normal, siapa Ardio sebenarnya? Keenan bangkit berdiri dari bangku lobby rumah sakit, lalu menatap Ardio tajam, ”Gue nggak peduli siapa lo sebenernya. Jangan pernah mainin perasaan tunangan lo sendiri, karena perempuan lain!” gertaknya kemudian.
Lara hanya bisa terdiam melihat keduanya saling bertengkar. Dia menundukkan kepalanya di balik pilar, kenapa semuanya jadi kayak gini cuma karena gue? Astaga Echa.... Maafin gue. Air mata Lara mulai mengalir. Sementara Keenan merasa sangat kecewa dengan Ardio, sahabatnya sendiri. Ia memang baru sadar, selama ini ada yang disembunyikan Ardio darinya.
Masa lalu Ardio, sebelum bertunangan dengan Echa tak pernah diketahui Keenan sebelumnya. Kalaupun, Ardio pernah dikenalnya di masa lalunya bersama Lara, kenapa dia tidak pernah memunculkan diri? Kenapa setelah bertahun-tahun, Ardio baru menguaknya? Ardio, sobat Keenan itu menahan langkah Keenan dari hadapannya, lalu cowok itu melayangkan tonjokannya pada Keenan sebagai balasannya.
Dada Lara semakin sesak melihat dua sekawan itu bertengkar hanya karena dirinya. Kalo begini caranya, Lara kehilangan keberanian untuk mengungkap siapa Ardio sebenernya pada Echa, tunangannya. Air mata di pelupuk Lara semakin mengalir deras, dia sudah tak lagi bisa menahannya. Lara memutuskan menyambangi dua pria itu di hadapan mereka.
”Ardio, Keenan! Berhenti!” teriaknya, di saat keduanya sudah semakin memanas. Lara berdiri di depan Keenan, di saat Ardio sudah bisa meredam emosinya. ”Di, siapa lo sebenernya?” tanya Lara tegas, matanya mendelik tajam pada Ardio. ”Lo inget, pas lo SMA dulu, ada satu cowok culun berkacamata yang selalu ngasih lo bunga diem-diem lewat Revan?” tanya Ardio dengan pandangan sorot mata menerawang.
Sementara, otak Lara berpikir keras tentang kenangan SMA-nya. Memang sih, jaman SMA dulu, ada teman kakaknya yang kalo nggak salah calon dokter juga yang sering mampir ke rumah Lara. Tapi Lara nggak tahu, kalo cowok nerdy yang selalu berpakaian kemeja itu, rupanya naksir pada Lara.
Dia pikir, dia ke rumah hanya untuk kumpulkumpul dengan Revan dan kawankawannya. Sementara.. sejak kehadiran si cowok culun itu, Lara sering banget nerima karangan white rose dari seseorang yang tak pernah diketahui identitasnya. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)